Kalimantan Barat Perbatasan Indonesia-Malaysia bukan sekadar garis pada peta. Di Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, perbatasan adalah denyut nadi jalan ekonomi, jalur manusia, lintasan hewan, bahkan lorong tak kasat mata bagi virus mematikan bernama rabies. Di sanalah Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (BKHIT) Kalimantan Barat menyiapkan barikade yang lebih sunyi dari plang besi, edukasi.
Pada Jumat, 19 September 2025, aula sederhana SMAN 1 Badau bergema oleh kata-kata yang lebih tajam dari jarum vaksin. World Rabies Day, yang jatuh tiap 28 September, menjadi dalih yang sahih untuk mengetuk pintu kesadaran. Tema global tahun ini, Act Now: You, Me, and Community, seolah berbisik: “Jangan tunggu gigitan berikutnya.”
“Rabies itu mematikan, tapi bisa dicegah,” ujar drh. Indra Priastomo, suaranya menembus kebisuan siswa yang menatap lekat. Mereka belajar mengenali ciri hewan yang terinfeksi air liur berlebihan, mata liar, gerak tak terkendali. Lebih penting lagi, mereka belajar bahwa satu gigitan dapat menghapus masa depan.
Di Provinsi Kalimantan Barat, ancaman ini bukan mitos. Dinas Kesehatan setempat mencatat ribuan gigitan hewan hingga Maret 2025. Lima nyawa sudah melayang. Lima keluarga kehilangan tawa. Virus yang menyerang saraf itu menolak kompromi sekali menular, ia menuntut hidup sebagai tebusan.
Karantina PLBN Badau tahu, mencegah lebih murah daripada meratap. Mereka tak hanya berdiri di pintu perbatasan memeriksa dokumen. Mereka mengetuk hati, menanam pengetahuan, dan berharap setiap siswa menjadi “vaksin berjalan”—penyambung informasi ke desa, keluarga, dan tetangga.
Nadi Kehidupan Warga
Kehidupan warga terus berdenyut. Inapi, warga Desa Bukit Penai Kabupaten Kapuas Hulu itu merasakan sentuhan lain dari negara.
Tangannya bergetar menerima sembako dari Babinsa Koramil 1206-11/Silat Hilir, Sertu Budiyono.
“Sangat berarti,” ucapnya lirih, mata berkaca. Bukan rabies yang ia takuti, tapi lapar yang diam-diam menggigit.
Budiyono paham, kehadirannya bukan sekadar formalitas. Ia datang membawa beras dan kata-kata yang mengikat TNI dan rakyat tak terpisahkan.
“Kami berkomitmen membantu,” katanya. Samanhudinaka, lelaki 81 tahun yang hidup berdua dengan istrinya, mengangguk pelan. Bantuan mungkin tak banyak, tetapi di sana, setiap genggam beras adalah pernyataan, negara hadir.
Dua kisah sosialisasi rabies dan bantuan sembako menyatu dalam satu napas, menjaga hidup. Karantina Badau membentengi manusia dari virus. Babinsa menjaga martabat dari kelaparan. Perbatasan bukan hanya tentang patroli dan stempel paspor, tapi tentang memastikan warganya tetap bernyawa dan bermartabat.
Siswa SMAN 1 Badau pulang membawa pesan yang lebih berat dari buku catatan. Mereka kini tahu gigitan hewan bukan sekadar luka. Mereka mengerti, informasi adalah vaksin pertama.
Adrianus, perwakilan sekolah, menatap teman-temannya. “Kami akan menyebarkan informasi ini,” janjinya.
Janji di Garis Senja
Rabies mungkin tak menunggu. Tapi Badau juga tak akan diam. Di titik di mana Indonesia menyentuh Malaysia, perlawanan disusun bukan dengan senjata, melainkan pengetahuan dan kepedulian.
Di situlah perbatasan menemukan makna baru: benteng yang dibangun oleh kata-kata, pelukan, dan kesadaran.
World Rabies Day bukan hanya tanggal di kalender. Ia adalah pengingat bahwa hidup di perbatasan berarti berdiri di garis rapuh antara aman dan terinfeksi, antara kenyang dan lapar, antara negara dan rakyat. Di Badau, mereka memilih untuk bertindak.
Mungkin, ketika malam jatuh di hutan Kalimantan, dunia yang luas ini bisa bernapas lega di satu sudutnya, gigitan maut telah ditolak oleh suara-suara muda yang tak gentar.